Label

Minggu, 08 Februari 2015

KKN - Cerita Di Balik Derita

Kali ini saya ingin sedikit cerita tentang kisah saya selama KKN atau Kuli Kerja Nyata, eh salah maksud saya Kuliah Kerja Nyata. Sebelum saya bercerita, saya ingin sedikit memberikan definisi tentang KKN. Kuliah Kerja Nyata adalah bentuk kegiatan pengabdian kepada masyarakat oleh mahasiswa dengan pendekatan lintas keilmuan. Biasanya kegiatan KKN berlangsung selama satu atau dua bulan. Kegiatan ini diwajibkan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi di Indonesia pada setiap perguruan tinggi sebagai kegiatan Intrakulikuler. Jadi mau tidak mau saya harus mengikuti kegiatan ini.


Petualangan bermula ketika saya bersama teman-teman seperjuangan saya menghadiri kegiatan pembekalan di Gedung Auditorium kampus saya. Pada siang itu cuaca sangat panas di tambah lagi dengan perut keroncongan , kebetulan waktu itu Bulan Ramadhan jadi kami mengikuti kegiatan dalam keadaan berpuasa dari jam dua belas siang hingga jam empat sore *itung-itung ngabuburit*. Di karenakan sedang berpuasa saya berusaha untuk mengurangi untuk berbicara agar tidak membuang banyak energi, namun hal itu sangat sulit untuk di lakukan karena para "Gollum" di samping saya terus saja melawak dan melakukan hal-hal lucu. Setiap kegiatan pembekalan kami selalu tidak memperhatikan pemateri dan lebih banyak ngobrol sampai akhirnya ada satu orang pemateri yang memiliki tubuh tinggi besar, mukanya sangar mirip tentara Iraq, Makhluk besar bertopi ini juga memegang sebuah alat yang tidak asing di mata saya yaitu sebuah Laser"Eh, jangan ribut, nanti kita kena laser", kata teman saya memperingatkan ketika kami ngobrol, padahal materi sedang di sampaikan. Eh, tidak lama berselang kemudian, sebuah titik merah menyambar-nyambar melewati kepala teman saya sebut saja dia Cun Lai. *Busted !*, Jantung saya berdetak kencang seperti gendang di Orkes Melayu. Kemudian si pemateri tesebut berbicara menggunakan microphone sambil menunjuk ke arah kami, "Ya ! kamu, yang perempuan dua, laki-laki sendiri, kalau kamu terus ribut, lebih baik kamu pulang saja ! , tidak ada gunanya kamu ikut pembekalan !", mendengar ucapan itu saya malah jadi bingung karena kami semuanya laki-laki. Usut punya usut ternyata teman saya yang duduk di depan deretan saya yang kena marah. *Phew*

Hari berikutnya..

Pembekalan sudah memasuki hari terakhir dan saya terus berdoa agar dosen pembimbing KKN saya bukan Si Tentara Iraq. Pengumuman lokasi KKN selalu di umumkan pada hari terakhir pembekalan KKN, jadi para mahasiswa kala itu duduk sambil harap-harap cemas. Kami terus menunggu hingga hampir pukul lima sore, dan akhirnya pengumuman lokasi di bacakan. Setelah di umumkan ada yang senang, ada yang kecewa, ada juga yang sudah kelaparan menunggu bedug magrib.

Waktu itu saya bingung, harus senang atau kecewa karena saya mendapatkan lokasi sesuai dengan yang saya inginkan yaitu tidak terlalu dekat dan tidak terlalu jauh. Namun masih ada sesuatu yang mengganjal di hati. Di tengah kebingungan saya, teman saya datang dan memberi selamat sambil sedikit mengejek karena saya seposko dengan orang yang menurut mereka jika kami itu di campur seperti air dan minyak , alias kagak akan menyatu. Inilah yang membuat saya mengganjal, bukan karena saya tidak suka dengan orang itu, tetapi saya takut nantinya dia tidak bisa di ajak bekerja sama.

Sehari sebelum keberangkatan, saya merasa masygul karena saya dengan berat hati  mengambil posisi sebagai Ketua Posko atau Koordinator Desa. Padahal saya sangat menghindari posisi itu sejak awal. Tetapi mau tidak mau saya harus, karena hanya saya sendirilah satu-satunya yang paling tampan dalam kelompok KKN kami alias saya satu-satunya laki-laki dalam kelompok.

Pada hari pemberangkatan saya sudah bangun pagi-pagi sekali untuk berkemas-kemas dan memastikan kalau tidak ada barang yang ketinggalan. Setelah itu orang tua saya mengantar saya ke kampus. Ketika sampai, saya menurunkan semua barang bawaan saya, kemudian saya mencari tempat untuk duduk sambil menunggu bus yang mengantarkan akan kami ke lokasi KKN tiba. Beberapa menit kemudian saya merasa aneh, karena sebelum pergi ada sebuah benda panjang yang saya pegang-pegang sewaktu masih di dalam mobil tapi benda itu kini hilang entah kemana. Setelah lama berusaha mengingat ternyata kertas Milimeter Block ketinggalan. Saya langsung panik karena bus sudah mulai berdatangan. Untunglah ada seorang kesatria bermotor berambut gondrong datang, gayanya cool bak Kotaro Minami, orang itu Uncle saya yang sedang membawakan kertas Milimeter Block yang ketinggalan. :v

Singkat cerita kami telah sampai di rumah yang akan kami tinggali. Kalau ditanya kesan pertama, sudah pasti saya merasakan hawa tidak enak, begitu juga pas masuk ke rumah itu bersama teman-teman seposko saya. Meskipun bapak yang mengantarkan kami dari kantor kecamatan berusaha ramah tetapi saya seperti berfirasat kalau bapak dan istrinya ini tidak sebaik dari yang kelihatannya.

Ada satu orang yang benar-benar "pure" menurut saya di dalam rumah itu. Orang itu adalah si pemilik rumah atau lebih akrab di panggil "Papa Tua", saya merasa dia adalah orang yang baik yang tulus meskipun kalau bicara dengan dirinya agak sulit karena "Sinyal"-nya kadang putus-putus alias si bapak mengalami masalah pendengaran. Meski Papa Tua yang memiliki rumah, yang seolah berkuasa di rumah itu adalah menantunya atau bapak yang mengantarkan kami, sebut saja dia Cho Yun Fat. Hal itu mungkin di sadari Papa Tua, tapi dia adalah orang yang religius sehingga di umurnya yang sudah lanjut itu dia sudah tidak terlalu perduli dengan urusan yang bersifat duniawi.

Nah si Cho Yun Fat ini kerjaan tidak begitu jelas alias serabutan tetapi dia maksa untuk bergaya hidup yang High Class. Istilahnya dalam bahasa orang utara "Hidup so tarabe, ba stel action !" , maksudnya untuk cari makan saja sudah sulit tapi masih saja berlagak seperti orang kaya. Ini tidak mengada-ada, karena bapak bertubuh gemuk ini kalau bercerita sangat "tinggi" padahal kalau dilihat realitanya sudah pasti kita sadar kalau ceritanya bohong. Selain itu dia juga adalah seorang Kungfu Master wannabe, karena dia selalu menceritakan pengalamannya berkelahi dengan preman-preman serta kalau ada keributan antar anak muda dia seneng banget ikut campur sambil cari cara agar bisa mukul gratis. Selain Cho Yun Fat, ada lagi nih orang yang ngeselin di sana, yaitu istrinya si Cho Yun Fat atau kita panggil saja Nam Pan. Kalau ibu dua anak ini bermuka dua, kalau di depan kami selalu baik dan bermanis-manis, tapi pas tengah malam biasanya saya dengar dia ngomel-ngomel soal dapur atau soal piring-piring kotor yang belum dicuci , untungnya itu bukan ulah saya karena tiap habis makan saya selalu cuci piring sendiri. 

Si Nam Pan punya dua anak, yaitu Ling Ling dan Pat Kai, kalau si Ling Ling kelas satu SMA dan si Pat Kai kelas lima SD. Yang ngeselin cuma si Pat Kai ini, tabiatnya rakus dan suka ngutil. Salah satunya kami pernah membeli minuman ringan untuk tamu yang datang ke posko. Tapi dalam waktu sehari saja minuman yang kami beli satu box tersebut habis. Ternyata yang sikat habis minuman itu adalah si Pat Kai. Saya mengetahui hal itu karena Pat Kai sudah beberapa kali saya pergok mengintip-intip kamar saya dan dia tidak tahu kalau ada saya di dalam.

Ada lagi nih yang orang yang unik di desa ini, namanya sebut saja Om Shadow, nah si Om ini adalah keponakannya Papa Tua, tapi kelakuannya sangat berbeda jauh dengan Om nya yang religius. Jika boleh, saya ingin menobatkannya sebagai "Man of The Year" versi majalah Playcoy terbitan planet Namek, karena menurut saya dialah "Playboy" sejati. Kalau mendengar legenda dari orang-orang di sekitar kampung, konon dia ahlinya "bermain" asmara, tidak peduli itu gadis, janda, atau istri orang asalkan masih siap "tempur" dia bakal ladeni karena selain tinggi, tampang Om Shadow ini juga "Ganteng-ganteng sering galer", makanya banyak yang mau. Yang bikin saya kaget , dia mengakui bahwa banyak anak-anak di sekitaran kampung ini adalah hasil hubungan gelapnya tanpa sedikit pun diketahui oleh para suami-suami korbannya, jadi saking banyaknya dia tidak kenal nama-nama mereka, hanya pakai bar code Ojo 1 , Ojo 2 sampai 20. (Baca Ojo : Anak laki-laki dalam bahasa Kaili). Meski pun dia otaknya agak vulgar, Om Shadow ini sangat baik terhadap saya dan teman-teman saya serta tidak pernah mempersulit kami selama KKN.

Malam pertama tinggal di tempat itu rasanya sangat lain, mungkin karena saya terbiasa dengan suasana rumahku, yah meskipun jelek tapi saya sangat nyaman jika di rumah sendiri. Saat itu suasana di sekitar rumah sunyi, sehabis magrib saya hanya menghabiskan waktu untuk membantu tuan rumah "bacude" atau kegiatan memisahkan cengkeh dari tangkai dan daunnya. Setelah itu si Cho Yun Fat menyarankan kami untuk ke rumah seseorang yang menurut dia orang yang penting bagi kami, panggil saja namanya Skinner (karena muka orang ini mirip tokoh antagonis di film Ratatoille). Sesampai di rumahnya si Skinner, dia memang menyambut kami dengan ramah tetapi bicaranya sedikit "sok" karena mungkin dia tokoh pemuda yang lumayan disegani sekaligus salah satu provokator dalam kisahku ini.

Ketika sedang bertamu di rumahnya salah satu teman saya mempunyai gelagat tidak nyaman dan ingin segera pulang dan si Skinner mungkin menyadarinya dan berkata "Saya tau, bagaimana mahasiswa KKN itu, biasanya setelah KKN mereka sudah lupa dengan kami yang membantu mereka selama di desa, saya sudah sering di perlakukan begitu, ketika bertemu di kota mereka pura-pura tidak mengenal saya. Kalau seandainya orang itu menampakkan dirinya di kampung ini, pil pahit yang akan dia dapat". Setelah saya mendengar perkataan si Skinner itu saya berfikir tidak mungkin seseorang malakukan hal itu kalau tidak ada sebabnya. Selanjutnya dia juga menyarankan kalau sebaiknya kami tidak mengambil kegiatan ekstrakulikuler sepak bola. Karena kegiatan tersebut terbilang agak sulit kalau di tinjau dari segi keanggotaan saya yang beranggotakan empat perempuan dan saya hanya sendiri laki-laki, karena saya akan kewalahan. Selain itu katanya kami harus menyewa wasit dan hakim garis serta harus siap dengan resiko perkelahian karena kampung lokasi KKN saya ini adalah daerah rawan konflik. Pada saat itu ,  dia juga terang-terangan mengatakan kalau sekarang ini tidak mau terlibat dengan kegiatan KKN kami, karena dia sudah capek dan bosan.

Setelah berbincang, kami pulang dari rumahnya dan kami bertemu dengan pria paruh baya, sebut saja dia Gomez. Dia ini adalah seorang duda tapi bukan duda sembarang duda, ini adalah mahakarya yang maha kuasa yang lupa akan usia yang sudah mulai menua dan lupa bahwa wajah tidak lagi sempurna untuk menjalin cinta dengan gadis belia. Selama KKN bapak ini sering datang ke kamar saya dan yang di bicarain tentang mantan istrinya yang mengkhianatin cintanya melulu atau istrinya yang meninggal. Terus dia selalu minta tolong ke saya untuk dikenalkan ke teman posko yang cewek untuk di jodohin ke dia. Pas di tolak dia mengancam main dukun. Nah kembali ke cerita, si Gomez ini menemani kami untuk berkeliling untuk bersilaturahmi ke rumah-rumah aparat dan tokoh-tokoh penting di desa padahal itu hanya modus agar doi bisa mendekati teman saya yang sebut saja namanya Mastin. Saya heran dengan si Mastin ini, karena banyak bapak-bapak yang sudah berkeluarga menyukainya, kalau ketahuan istri berakhir dengan piring dan belanga berterbangan di dapur rumah. Si Mastin ini sebenarnya adalah orang yang baik tapi dia adalah orang yang berfikir praktis, tidak suka ribet , sehingga kalau ada kegiatan saya hanya memberikan dia tugas yang ringan-ringan saja.

***

Saat melaksanakan kegiatan loka karya, kepala desa kami menyarankan untuk melaksanakan kegiatan tersebut di gedung serba guna yang terletak di dekat pantai. Kami pun setuju, dan si Nam Pan pun menyarankan kalau dia saja yang membeli konsumsinya serta tidak lupa pula dia meminta kami untuk mengumpulkan uang sebesar tiga ratus ribu rupiah. Akan tetapi saat kegiatan dimulai saya kecewa karena si Nam Pan hanya membeli kue lapis roll yang pas saya selidiki hanya seharga tujuh belas ribu dan saat itu konsumsi juga tidak mencukupi. Dengan uang sebanyak itu tidak mungkin konsumsi kegiatan kecil seperti ini tidak cukup. Yah, saya menyimpulkan kalau si Nam Pan menggunakan sebagian besar sisa uang untuk keperluan pribadi.

Hujan deras mulai mengguyur desa tersebut, di tambah lagi listrik padam sehingga sound system tidak berfungsi. Saya jadi stres dengan kejadian itu, di tambah lagi si Skinner meminta agar kegiatan sepak bola mini di adakan. Sial ! padahal sebelumnya dia menyarankan kita untuk tidak melaksanakan kegiatan itu. Ternyata dia ingin kami kewalahan.

Bodohnya, teman saya sebut saja namanya Mangkok, ketika membacakan kesimpulan di akhir kegiatan loka karya, dia salah membacakan program. Dia membaca program kerja yang seharusnya tidak jadi kami laksanakan termasuk sepak bola. Anehnya si Mangkok sudah tau salah tetapi dia ngotot kalau dia tidak salah. Saya kemudian berusaha untuk menjelaskan kepada Skinner kalau tadi ada kesalahan teknis tetapi dia berkelit kalau itu sudah terlambat karena sudah tertulis di berita acara [?] dan akan diserahkan kepada kepolisian [??]. Saya merasa ada yang tidak beres, orang ini seperti mencoba membodohi kami, mentang-mentang kami tidak tahu persoalan sistem birokrasi di desa ini. Saya pun tidak habis akal, kebetulan dosen pembimbing saya datang ke posko desa tetangga. Saya memanfaatkan kesempatan ini untuk bertanya banyak hal kepadanya termasuk kejanggalan tadi dan saya pun berbegas pergi ke posko desa sebelah yang berjarak 5 km dari tempat saya. Ketika sampai di sana saya mendapat titik terang kalau sebenarnya dia mencoba membodohi kami, dosen saya bilang kami jangan mau diperalat dan diperdaya. Meski kami ditugaskan untuk mengabdi pada masyarakat kami tidak boleh menjadi kuli, tetapi harus menjadi seseorang yang memfasilitasi dan memberikan inisiatif kepada mereka untuk membangun desa mereka sendiri menjadi jauh lebih maju. Justru kata si dosen kalau kedapatan kami yang kerja fisik sendiri itu pertanda bahwa KKN kami gagal.

Setelah mendapat pencerahan saya bersama teman-teman saya merencakan untuk melakukan pertemuan pemuda secara informal pada malam harinya. Jadi kami mengundang para pemuda secara lisan untuk datang ke posko setelah sholat isya.

***

Sudah hampir jam sembilan malam tetapi para pemuda desa yang telah diundang tidak masuk ke posko melainkan hanya berdiri di luar, Sementara itu Skinner seperti berkata sesuatu kepada mereka supaya tidak masuk. Usut punya usut si Skinner tidak mau rapat dilaksanakan karena tidak ada undangan. Dalam hati saya, ini orang sok eksklusif banget, wong disini pak kadesnya sudah biasa mengundang masyarakat secara lisan, kenapa tidak di protes ?, ah sudahlah. saya tau dia hanya mencari-cari kesalahan saya.

Dengan sabar, saya mengikuti saja apa kemauannya, keesokan harinya kami menyebar undangan dan seperti sebelumnya kegiatan akan dilaksanakan ba'da isya. Dalam kegiatan ini kami menyodorkan beberapa kegiatan ekstrakulikuler alternatif tapi para pemudanya bersih keras kalau sepak bola harus di adakan. Kami dengan berat hati meng-iya kan. Lucunya ketika kami memilih siapa yang bersedia untuk menjadi panitianya, mereka bungkam. Manusia macam begini yang membuat saya merasa jijik, omongan besar tetapi giliran bekerja tidak mau, hanya mau enaknya saja.

Setelah lama berunding, akhirnya dengan bantuan pemuda yang di anggap senior di desa tersebut, kami berhasil menentukan panitia-panitia untuk kegiatan ini dan saya merasa orang-orang yang ada di dalam kepanitiaan ini tidak bersungguh-sungguh. Hal itu terbukti ketika kegiatan membersihkan lapangan bola yang dipenuhi rumput di adakan, hanya dua orang dari banyak pemuda yang terlibat dalam kepanitian yang datang. Hari berikutnya teman saya mengajak pemuda lain tapi dengan pancingan sebungkus rokok. Memang sih ada beberapa yang datang tetapi baru bekerja sedikit mereka sudah kembali duduk-duduk dan tidak lama kemudian menagih imbalan yang sudah di janjikan. Kerja sedikit menuntut banyak, yang begini ini yang bikin Indonesia tidak maju-maju.

Tidak lama kemudian datang seorang bapak bertubuh tinggi, berbadan kekar dan berambut gondrong sebut saja Hercules. Dia komplain sama saya karena anggota saya yang cewek-cewek tidak semuanya hadir di lapangan. Okelah, saya maklumi mungkin memang benar, partisipasi mereka itu sangat perlu supaya membuat para pemuda ini bersemangat untuk melaksanakan kegiatan. Tapi.. ketika semua teman saya hadir, si Hercules datang lagi kepada saya dan komplain bahwa teman-teman cewek saya tidak ikut kerja bakti. Saya pun menginstruksikan kepada teman saya untuk ikut meski hanya membantu mengumpul rumput yang telah kami paras. Saking seriusnya saya bekerja, saya sampai tidak sadar bahwa tinggal beberapa orang saja termasuk saya yang memotong rumput. Yang lain malah asik bermain bola dan ada juga yang hanya menonton kami bekerja. Ini salah satu kekecewaan terbesar saya terhadap desa ini, pemudanya tidak punya hati. Saat para perempuan bekerja fisik, mereka yang pria yang tentunya memiliki fisik lebih kuat hanya berpangku kaki.

Kekecewaan terus berlanjut, kali ini saat membuat garis lapangan. Seorang pemuda desa berbadan tambun sebut saja Yonex, ia menyarankan kami untuk membeli racun rumput jika ingin membuat garis. Jadi kami mengumpul uang hingga terkumpul seratus ribu rupiah dan memberikannya kepada Yonex untuk dibelikan racun rumput. Ketika racun rumputnya di pakai kami harus menunggu satu hari karena dia mengklaim racun rumput yang dia beli hanya membutuhkan sehari saja untuk membuat rumputnya loyo sehingga membentuk pola garis sesuai dengan pola yang kami buat saat disemprotkan. Eh pas keesokan harinya kami bergegas mengecek rumputnya, masih segar bugar, saya berfikir mungkin butuh 2 hari. Besok lusanya lagi di cek ternyata masih tidak mati rumputnya. Rupanya si Yonex mungkin hanya mengambil racun rumput bekas plus di tambah air dan sedikit sabun cair biar keliatan banyak.

Bersambung...














Tidak ada komentar:

Posting Komentar